Sabtu, 14 November 2009

OM AWIGHNAM ASTU NAMA SIDHAM

Desa Pakraman Tejakula sebagai salah satu desa pakraman di Bali memiliki perjalanan yang panjang dan unik, baik dilihat dari segi historis maupun geografisnya. Perjalanan panjang dimaksud yaitu Desa Pakraman Tejakula sebelum bernama Desa Tejakula, diberi nama Hiliran, kemudian disebut dengan Paminggir. Hal ini disebutkan dalam Prasasti Raja Janasadu Warmadewa Icaka Warsa 897 dan juga disebutkan dalam Prasasti Jayapangus tahun Caka 1103 begitu pula dalam Prasasti Raja Ekajaya Lancana tahun Caka 1122 kemudian barulah bernama Desa Tejakula.Sedangkan keunikannya adalah Desa Pakraman Tejakula yang ada sekarang secara geografis berada di wilayah Kabupaten Buleleng bagian timur namun memiliki hubungan historis secara ritual yang sangat erat dengan Desa Sukawana dan Batur yang sama-sama berada di wilayah Kabupaten Bangli, hal ini terpelihara dari sejak jaman dahulu sampai saat ini.

Hubungan secara ritual antara Desa Pakraman Tejakula dengan Desa Pakraman Batur dan Desa Pakraman Sukawana diterima dari cerita secara turun temurun para leluhur dan dipertegas kembali dalam Purana-purana yang ada di Batur maupun Sukawana khususnya dalam hubungan pelestarian sumber air, sebagai sumber hidup Krama Desa Tejakula utamanya dalam pemanfaatan untuk iragasi maupun kebutuhan hidup sehari-hari.
Berdasarkan isi Pangeling-eling Pepasehan Ida Bhatara Sakti ring Pura Ulun Danu Batur disebutkan bahwa Ida Bhatara ring Pura Ulun Danu berkehendak untuk melimpahkan Anugrah atau Paica kepada panjak – panjak Beliau yang berada di bagian timur Kabupaten Buleleng dalam bentuk Tirta atau Air Suci sebagai sumber kesuburan dan kehidupan dari para Krama desa. Namun sebelum melimpahkan anugrahnya terlebih dahulu Beliau ingin melihat ketulusan rasa bakti dari para krama desa (panjak-panjak Beliau). Atas dasar itu maka Ida Bhatara ring Pura Ulun Danu menjelma menjadi manusia tua renta dengan kondisi fisik yang sangat menjijikkan, menjajakan (menjual) air dengan menjunjung sebuah kendi. Adapun kisah perjalanan beliau adalah sebagai berikut : diawali dari wilayah kanca Satak (wilayah ujung timur kecamatan Tejakula), disekitar Pura Pegonjongan si penjaja air terpeleset sehingga air yang dijunjungnya sedikit tertumpah. Kemudian melanjutkan perjalanan ke arah barat sampai di Desa Les. Masyarakat Desa Les membeli air seharga 2 keteng, dan dilanjutkan ke barat menuju Hiliran (Desa Tejakula sekarang). Masyarakat Hiliran membeli air seharga 3 keteng. Sang penjaja air melanjutkan kembali perjalanannya menuju ke arah barat dan terakhir air tersebut dituangkan di wilayah air sanih.

Dari kisah ini tampak jelas adanya hubungan secara ritual dengan Desa Batur dan Sukawana (Bangli) terhadap kelangsungan pelestarian air di Desa Pakraman Tejakula, sebagai anugrah yang dilimpahkan oleh Ida Bhatara di Ulun Danu Batur dan Ida Bhatara Sukawana dalam wujud Tirta atau Air Suci menjadi kewajiban krama desa Tejakula untuk membayar upeti dalam bentuk aci atau upacara. Kewajiban itu telah dilaksanakan secara terus menerus baik yang pelaksanaannya setiap tahun maupun sepuluh tahun sekali.

Bukti lain keterkaitan secara ritual antara Desa Tejakula, Batur dan Sukawana juga dapat dilihat dari peninggalan-peninggalan sejarah seperti adanya bangunan suci berupa Pelinggih Meru Tumpang Tiga di Pura Ulun Danu Batur, begitu juga bangunan suci yang berupa bangunan Cang Apit di Pura Desa Sukawana yang mana bangunan ini merupakan salah satu bangunan inti yang berfungsi sebagai tempat medal dan ngeranjing Ida Bhatara pada waktu pelaksanaan upacara di Pura Desa Sukawana. Dibelakang bangunan Cang Apit tersebut tertulis “Pangeling-eling kerama ngewangun palinggih Cang Apit. Indik prabea ngarya kesanggra olih Desa Tejakula, indik lakar wewangunan kesanggra olih Desa Sukawana”.

Kemudian bukti lain keterkaitan Desa Tejakula, Sukawana dan Batur yaitu berdirinya sebuah bangunan suci yang bernama Pura Utus sebagai tempat bersejarah mengingat di lokasi tersebut dipakai sebagai tempat para prajuru desa setiman (45) Desa Sukawana mengadakan Paruman dengan maksud untuk membahas keadaan wilayah bagian utara Desa Sukawana yaitu wilayah Paminggir atau Hiliran (Desa Tejakula sekarang). Dimana daerah tersebut keadaan tanahnya sangat subur oleh karenanya daerah ini sering menjadi rebutan dari orang-orang atau kelompok lain sehingga keamanan daerah paminggir atau Hilirian sangat terganggu. Melihat situasi seperti itu maka demi untuk menjaga keutuhan dan segala keberadaannya, prajuru Desa Sukawana yang berjumlah 45 orang mengambil keputusan antara lain :
1. Prajuru Desa Sukawana membagi diri dalam menata wilayahnya yaitu 23 orang menata wilayah daerah Sukawana bagian selatan dan 22 orang lainnya menata wilayah bagian utara (Paminggir/Hiliran/Tejakul
a)
2. Prajuru yang berangkat ke daerah Paminggir berjumlah 22 orang didampingi oleh para Pengabih / prajurit / cendek.
3. Segala biaya dalam rangkaian pembangunan, aci atau upacara dan kelangsungannya menjadi tanggungan bersama.
4. Di tempat itu dibangun dua buah bale panjang yang berfungsi untuk kegiatan sangkepan prajuru Desa Sukawana dan prajuru Desa Tejakula.
5. Dalam perbaikan alat-alat seperti tombak, pengawin dan segala sarana yang terbuat dari logam apabila mengalami kerusakan dikerjakan oleh Desa Tejakula.
6. Untuk mengenang peristiwa yang bersejarah itu dibangunlah sebuah bangunan suci sebagai ungkapan rasa puji dan syukur kehadapan Ida Bhatara atas keputusan yang telah diambil. Bangunan suci tersebut kemudian diberi nama Pura Utus.

Krama Desa Tejakula dalam menghaturkan aci dan melaksanakan kewajiban lainnnya merupakan suatu bentuk kewajiban sebagai rasa bhakti kehadapan Ida Bhatara Bhatari dalam upaya memohon selain keselamatan juga untuk memelihara kelangsungan keberadaan serta tetap berfungsinya sumber air yang mengalir ke Desa Tejakula sebagai sumber kehidupan.
(Sumber : Desa Pakraman Tejakula)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar