Kamis, 19 November 2009

PURA TAMAN AYUN

Pura Taman Ayun terletak di Desa Mengwi, Kabupaten Badung. Jaraknya kurang lebih 18km kea rah Barat Laut Kota Denpasar. Pura ini termasuk salah satu pura yang terindah di Bali. Pura ini memiliki struktur bangunan khas Bali, yaitu berbentuk meru atau atap yang bertingkat-tingkat, juga dikelilingi oleh telaga (kolam). Kolam disini memiliki lebar hampir 10 meter. Harga tiket untuk memasuki Taman Ayun ini adalah Rp. 3000/pax.

Kompleks Pura dibagi menjadi 3 halaman yang berbeda. Yang satu lebih tinggi dari yang lainnya yang melambangkan 3 alam yaitu; alam bawah (Bhur), alam tengah (Bvah), dan alam atas (Svah). Masing-masing halaman dihubungkan oleh pintu gerbang. Halaman ketiga merupakan halaman yang dianggap paling suci, karena aktifitas persembahyangan dilaksanakan disana dan di halaman ini pula beberapa meru dan bangunan suci lainnya berada disana.

Setiap 210 hari tepatnya setiap Selasa Kliwon Medangsia, seluruh masyarakat Mengwi merayakan piodalan selama beberapa hari memuja Tuhan dengan segala manifestasiNya. Halaman pertama disebut dengan Jaba yang bisa dicapai hanya dengan melewati satu-satunya jembatan kolam dan pintu gerbang. Begitu masuk disana ada tugu kecil untuk menjaga pintu masuk dan disebelah kanannya terdapat bangunan luas (wantilan) dimana sering diadakan sabungan ayam saat upacara. Di halaman ini, juga terdapat tugu air mancur yang mengalah ke 9 arah mata angin. Sambil menuju ke halaman berikutnya, di sebelah kanan jalan terdapat sebuah komplek pura kecil dengan nama Pura Luhuring Purnama. Halaman ke dua, posisinya lebih tingi dari halaman pertama untuk masuk ke halaman ini, pengunjung harus melewati pintu gerbang kedua. Begitu masuk, pandangan akan tertuju pada sebuah bangunan aling-aling Bale Pengubengan yang dihiasi dengan relief menggambarkan Dewata Nawa Sanga. Di sebelah timur halaman ini ada satu pura kecil disebut Pura Dalem Bekak, sedangkan di pojok sebelah barat terdapat sebuah Balai Kulkul menjulang tinggi. Halaman ketiga adalah yang tertinggi dan yang paling suci. Pintu gelung yang paling tengah akan dibuka disaat ada upacara, tempat keluar masuknya arca dan peralatan upacara lainnya. Sedangkan gerbang yang di kiri kanannya adalah untuk keluar masuk kegiatan sehari-hari di pura tersebut.

SEJARAH PURA TAMAN AYUN

Berdasarkan bahasa Mengwi, pura yang sekarang biasa kita sebut Pura Taman Ayun ini, dahulunya ketika baru selesai disucikan pada tahun 1634M dinamakan Pura taman Ahyun. Taman Ahyun berasal dari kata Taman yang berarti kebun, dan kata Ahyun dari kata Hyun yang berarti keinginan Pura ini didirikan pada sebuah taman yang dikelilingi oleh kolam yang dapat memenuhi keinginan. Kata Hyun itulah yang berubah menjadi Ayun. Namun pengertian Ayun ini sedikit berbeda dari kata Hyun tersebut. Kata Ayun ini berarti indah, cantik. Jadi Taman Ayun berarti sebuah taman atau kebun yang indah dan cantik.
Pura Taman Ayun ini dibangun pada abad ke-17 tepatnya tahun 1634 oleh raja pertama Kerajaan Mengwi, Tjokorda Sakti Blambangan. Beliau merupakan dibantu oleh arsitek yang berasal dari Cina. Halaman pura ditata sedemikian indah dan dikelilingi oleh telaga. Yang kemudian dipugar pada tahun 1937 yang dihiasi oleh meru-meru yang menjulang tinggi dan megah diperuntukan baik bagi leluhur kerajaan maupun bagi para dewa yang berstana di pura-pura lain di Bali. Pura Taman Ayun adalah Pura Keluarga bagi Kerajaan Mengwi. Awalnya, pura ini didirikan karena pura-pura yang saat itu tersedia jaraknya terlalu jauh untuk dijangkau oleh masyarakat Mengwi. Maka dari itu, Sang Raja mendirikan sebuah tempat pemujaan dengan beberapa bangunan sebagai penyawangan (simbol) daripada 9 pura utama yang ada di Bali, seperti Pura Besakih, Pura Ulundanu, Pura Batur, Pura Uluwatu, Pura Batukaru, dan pura utama lainnya yang ada di Bali. Dengan lokasi yang ada di satu areal, Beliau berharap rakyat kerajaan tidak usah jauh-jauh jika ingin melakukan persembahyangan.

FUNGSI PURA TAMAN AYUN

Pura Taman Ayun dibangun dengan tiga fungsi, yaitu :
1. sebagai Pura penyawangan (Pengawatan) sehingga masyarakat Mengwi yang ingin sembahyang ke pura-pura besar seperti Pura Besakih, Pura Uluwatu, Pura Batur, Pura Batukaru, Ulundanu, dan lainnya, cukup datang ke Pura Taman Ayun ini.
2. sebagai pemersatu dari masyarakat dengan beberapa garis keturunan yang sama-sama beribadah di tempat ini.
3. pura ini memiliki fungsi ekonomi, karena kolam yang mengelilingi juga dipakai sebagai air inrigasi untuk mengairi sawah-sawah disekitar pura.
Taman Ayun ini juga dipakai sebagai tempat berkumpulnya para anggota kerajaan. Keberadaan pura ini, oleh masyarakat dan pemerintah setempat dianjurkan ke The World Heritage Center atau UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) untuk dijadikan salah satu world heritage (warisan dunia).

Para pengunjung bisa menikmati areal sekeliling pura dari ketinggian dengan menaiki bale kulkul yang berada di sebelah kiri pintu gerbang. Bagi yang gemar berfoto-foto, kori agung (gapura utama) yang berdiri megah adalah objek yang sangat cocok untuk dijadikan latar. Sedangkan bagi yang gemar berbelanja, di seberang pura terdapat beberapa pedagang yang mnjual makanan-makanan ataupun cendramata. Biasanya setiap malam minggu dan minggu siang, pura ini sering dipakai oleh orang untuk berpacaran.

CERITA RAKYAT BALI : "JAYAPRANA DAN LAYONSARI"

Dua orang suami istri bertempat tinggal di Desa Kalianget mempunyai tiga orang anak, dua orang laki-laki dan seorang perempuan. Oleh karena ada wabah yang menimpa masyarakat desa itu, maka empat orang dari keluarga yang miskin ini meninggal dunia bersamaan. Tinggalan seorang laki-laki yang paling bungsu bernama I Jayaprana. Oleh karena orang yang terakhir ini keadaannya yatim piatu, maka ia puan memberanikan dirimengabdi di istana raja. Di istana, laki-laki itu sangat rajin, rajapun amat kasih sayang kepadanya.
Kini I Jayaprana baru berusia duabelas tahun. Ia sangat ganteng paras muka tampan dan senyumnya pun sangat manis menarik.
Beberapa tahun kemudian.
Pada suatu hari raja menitahkan I Jayaprana, supaya memilih seorang dayang-dayang yang ada di dalam istana atau gadis gadis yang ada di luar istana. Mula-mula I Jayaprana menolak titah baginda, dengan alasan bahwa dirinya masih kanak-kanak. Tetapi karena dipaksan oleh raja akhirnya I Jayaprana menurutinya. Ia pun melancong ke pasar yang ada di depan istana hendak melihat-lihat gadis yang lalu lalang pergi ke pasar. Tiba-tiba ia melihat seorang gadis yang sangat cantik jelita. Gadis itu bernama Ni Layonsari, putra Jero Bendesa, berasal dari Banjar Sekar.
Melihat gadis yang elok itu, I Jayaprana sangat terpikat hatinya dan pandangan matanya terus membuntuti lenggang gadis itu ke pasar, sebaliknya Ni Layonsari pun sangat hancur hatinya baru memandang pemuda ganteng yang sedang duduk-duduk di depan istana. Setelah gadis itu menyelinap di balik orang-orang yang ada di dalam pasar, maka I Jayaprana cepat-cepat kembali ke istana hendak melapor kehadapan Sri Baginda Raja. Laporan I Jayaprana diterima oleh baginda dan kemudian raja menulis sepucuk surat.
I Jayaprana dititahkan membawa sepucuk surat ke rumahnya Jero Bendesa. Tiada diceritakan di tengah jalan, maka I Jayaprana tiba di rumahnya Jero Bendesa. Ia menyerahkan surat yang dibawanya itu kepada Jero Bendesa dengan hormatnya. Jero Bendesa menerima terus langsung dibacanya dalam hati. Jero Bendesa sangat setuju apabila putrinya yaitu Ni Layonsari dikawinkan dengan I Jayaprana. Setelah ia menyampaikan isi hatinya “setuju” kepada I Jayaprana, lalu I Jayaprana memohon diri pulang kembali.
Di istana Raja sedang mengadakan sidang di pendopo. Tiba-tiba datanglah I Jayaprana menghadap pesanan Jero Bendesa kehadapan Sri Baginda Raja. Kemudian Raja mengumumkan pada sidang yang isinya antara lain: Bahwa nanti pada hari Selasa Legi wuku Kuningan, raja akan membuat upacara perkawinannya I Jayaprana dengan Ni Layonsari. Dari itu raja memerintahkan kepada segenap perbekel, supaya mulai mendirikan bangunan-bangunan rumah, balai-balai selengkapnya untuk I Jayaprana.
Menjelang hari perkawinannya semua bangunan-bangunan sudah selesai dikerjakan dengan secara gotong royong semuanya serba indah. Kini tiba hari upacara perkawinan I Jayaprana diiringi oleh masyarakat desanya, pergi ke rumahnya Jero Bendesa, hendak memohon Ni Layonsari dengan alat upacara selengkapnya. Sri Baginda Raja sedang duduk di atas singgasana dihadap oleh para pegawai raja dan para perbekel baginda. Kemudian datanglah rombongan I Jayaprana di depan istana. Kedua mempelai itu harus turun dari atas joli, terus langsung menyembah kehadapan Sri Baginda Raja dengan hormatnya melihat wajah Ni Layonsari, raja pun membisu tak dapat bersabda.
Setelah senja kedua mempelai itu lalu memohon diri akan kembal ke rumahnya meninggalkan sidang di paseban. Sepeninggal mereka itu, Sri Baginda lalu bersabda kepada para perbekel semuanya untuk meminta pertimbangan caranya memperdayakan I Jayaprana supaya ia mati. Istrinya yaitu Ni Layonsari supaya masuk ke istana dijadikan permaisuri baginda. Dikatakan apabila Ni Layonsari tidak dapat diperistri maka baginda akan mangkat karena kesedihan.
Mendengar sabda itu salah seorang perbekel lalu tampak ke depan hendak mengetengahkan pertimbangan, yang isinya antara lain: agar Sri Paduka Raja menitahkan I Jayaprana bersama rombongan pergi ke Celuk Terima, untuk menyelidiki perahu yang hancur dan orang-orang Bajo menembak binatang yang ada di kawasan pengulan. Demikian isi pertimbangan salah seorang perbekel yang bernama I Saunggaling, yang telah disepakati oleh Sang Raja. Sekarang tersebutlah I Jayaprana yang sangat brebahagia hidupnya bersama istrinya. Tetapi baru tujuh hari lamanya mereka berbulan madu, datanglah seorang utusan raja ke rumahnya, yang maksudnya memanggil I Jayaprana supaya menghadap ke paseban. I Jayaprana segera pergi ke paseban menghadap Sri P aduka Raja bersama perbekel sekalian. Di paseban mereka dititahkan supaya besok pagi-pagi ke Celuk Terima untuk menyelidiki adanya perahu kandas dan kekacauan-kekacauan lainnya. Setelah senja, sidang pun bubar. I Jayaprana pulang kembali ia disambut oleh istrinya yang sangat dicintainya itu. I Jayaprana menerangkan hasil-hasil rapat di paseban kepada istrinya.
Hari sudah malam Ni Layonsari bermimpi, rumahnya dihanyutkan banjir besar, ia pun bangkit dari tempat tidurnya seraya menerangkan isi impiannya yang sangat mengerikan itu kepada I Jayaprana. Ia meminta agar keberangkatannya besok dibatalkan berdasarkan alamat-alamat impiannya. Tetapi I Jayaprana tidak berani menolak perintah raja. Dikatakan bahwa kematian itu terletak di tangan Tuhan Yang Maha Esa. Pagi-pagi I Jayaprana bersama rombongan berangkat ke Celuk Terima, meninggalkan Ni Layonsari di rumahnya dalam kesedihan. Dalam perjalanan rombongan itu, I Jayaprana sering kali mendapat alamat yang buruk-buruk. Akhirnya mereka tiba di hutan Celuk Terima. I Jayaprana sudah meras dirinya akan dibinasakan kemudian I Saunggaling berkata kepada I Jayaprana sambil menyerahkan sepucuk surat. I Jayaprana menerima surat itu terus langsung dibaca dalam hati isinya:
“ Hai engkau Jayaprana
Manusia tiada berguna
Berjalan berjalanlah engkau
Akulah menyuruh membunuh kau

Dosamu sangat besar
Kau melampaui tingkah raja
Istrimu sungguh milik orang besar
Kuambil kujadikan istri raja

Serahkanlah jiwamu sekarang
Jangan engkau melawan
Layonsari jangan kau kenang
Kuperistri hingga akhir jaman.”

Demikianlah isi surat Sri Baginda Raja kepada I Jayaprana. Setelah I Jayaprana membaca surat itu lalu ia pun menangis tersedu-sedu sambil meratap. “Yah, oleh karena sudah dari titah baginda, hamba tiada menolak. Sungguh semula baginda menanam dan memelihara hambat tetapi kini baginda ingin mencabutnya, yah silakan. Hamba rela dibunuh demi kepentingan baginda, meski pun hamba tiada berdosa. Demikian ratapnya I Jayaprana seraya mencucurkan air mata. Selanjutnya I Jayaprana meminta kepada I Saunggaling supaya segera bersiap-siap menikamnya. Setelah I Saunggaling mempermaklumkan kepada I Jayaprana bahwa ia menuruti apa yang dititahkan oleh raja dengan hati yang berat dan sedih ia menancapkan kerisnya pada lambung kirinya I Jayaprana. Darah menyembur harum semerbak baunya bersamaan dengan alamat yang aneh-aneh di angkasa dan di bumi seperti: gempa bumi, angin topan, hujan bunga, teja membangun dan sebagainya.
Setelah mayat I Jayaprana itu dikubur, maka seluruh perbekel kembali pulang dengan perasaan sangat sedih. Di tengah jalan mereka sering mendapat bahaya maut. Diantara perbekel itu banyak yang mati. Ada yang mati karena diterkam harimau, ada juga dipagut ular. Berita tentang terbunuhnya I Jayaprana itu telah didengar oleh istrinya yaitu Ni Layonsari. Dari itu ia segera menghunus keris dan menikan dirinya. Demikianlah isi singkat cerita dua orang muda mudi itu yang baru saja berbulan madu atas cinta murninya akan tetapi mendapat halangan dari seorang raja dan akhirnya bersama-sama meninggal dunia.

CERITA RAKYAT BALI : "JAYAPRANA DAN LAYONSARI"

Dua orang suami istri bertempat tinggal di Desa Kalianget mempunyai tiga orang anak, dua orang laki-laki dan seorang perempuan. Oleh karena ada wabah yang menimpa masyarakat desa itu, maka empat orang dari keluarga yang miskin ini meninggal dunia bersamaan. Tinggalan seorang laki-laki yang paling bungsu bernama I Jayaprana. Oleh karena orang yang terakhir ini keadaannya yatim piatu, maka ia puan memberanikan dirimengabdi di istana raja. Di istana, laki-laki itu sangat rajin, rajapun amat kasih sayang kepadanya.
Kini I Jayaprana baru berusia duabelas tahun. Ia sangat ganteng paras muka tampan dan senyumnya pun sangat manis menarik.
Beberapa tahun kemudian.
Pada suatu hari raja menitahkan I Jayaprana, supaya memilih seorang dayang-dayang yang ada di dalam istana atau gadis gadis yang ada di luar istana. Mula-mula I Jayaprana menolak titah baginda, dengan alasan bahwa dirinya masih kanak-kanak. Tetapi karena dipaksan oleh raja akhirnya I Jayaprana menurutinya. Ia pun melancong ke pasar yang ada di depan istana hendak melihat-lihat gadis yang lalu lalang pergi ke pasar. Tiba-tiba ia melihat seorang gadis yang sangat cantik jelita. Gadis itu bernama Ni Layonsari, putra Jero Bendesa, berasal dari Banjar Sekar.
Melihat gadis yang elok itu, I Jayaprana sangat terpikat hatinya dan pandangan matanya terus membuntuti lenggang gadis itu ke pasar, sebaliknya Ni Layonsari pun sangat hancur hatinya baru memandang pemuda ganteng yang sedang duduk-duduk di depan istana. Setelah gadis itu menyelinap di balik orang-orang yang ada di dalam pasar, maka I Jayaprana cepat-cepat kembali ke istana hendak melapor kehadapan Sri Baginda Raja. Laporan I Jayaprana diterima oleh baginda dan kemudian raja menulis sepucuk surat.
I Jayaprana dititahkan membawa sepucuk surat ke rumahnya Jero Bendesa. Tiada diceritakan di tengah jalan, maka I Jayaprana tiba di rumahnya Jero Bendesa. Ia menyerahkan surat yang dibawanya itu kepada Jero Bendesa dengan hormatnya. Jero Bendesa menerima terus langsung dibacanya dalam hati. Jero Bendesa sangat setuju apabila putrinya yaitu Ni Layonsari dikawinkan dengan I Jayaprana. Setelah ia menyampaikan isi hatinya “setuju” kepada I Jayaprana, lalu I Jayaprana memohon diri pulang kembali.
Di istana Raja sedang mengadakan sidang di pendopo. Tiba-tiba datanglah I Jayaprana menghadap pesanan Jero Bendesa kehadapan Sri Baginda Raja. Kemudian Raja mengumumkan pada sidang yang isinya antara lain: Bahwa nanti pada hari Selasa Legi wuku Kuningan, raja akan membuat upacara perkawinannya I Jayaprana dengan Ni Layonsari. Dari itu raja memerintahkan kepada segenap perbekel, supaya mulai mendirikan bangunan-bangunan rumah, balai-balai selengkapnya untuk I Jayaprana.
Menjelang hari perkawinannya semua bangunan-bangunan sudah selesai dikerjakan dengan secara gotong royong semuanya serba indah. Kini tiba hari upacara perkawinan I Jayaprana diiringi oleh masyarakat desanya, pergi ke rumahnya Jero Bendesa, hendak memohon Ni Layonsari dengan alat upacara selengkapnya. Sri Baginda Raja sedang duduk di atas singgasana dihadap oleh para pegawai raja dan para perbekel baginda. Kemudian datanglah rombongan I Jayaprana di depan istana. Kedua mempelai itu harus turun dari atas joli, terus langsung menyembah kehadapan Sri Baginda Raja dengan hormatnya melihat wajah Ni Layonsari, raja pun membisu tak dapat bersabda.
Setelah senja kedua mempelai itu lalu memohon diri akan kembal ke rumahnya meninggalkan sidang di paseban. Sepeninggal mereka itu, Sri Baginda lalu bersabda kepada para perbekel semuanya untuk meminta pertimbangan caranya memperdayakan I Jayaprana supaya ia mati. Istrinya yaitu Ni Layonsari supaya masuk ke istana dijadikan permaisuri baginda. Dikatakan apabila Ni Layonsari tidak dapat diperistri maka baginda akan mangkat karena kesedihan.
Mendengar sabda itu salah seorang perbekel lalu tampak ke depan hendak mengetengahkan pertimbangan, yang isinya antara lain: agar Sri Paduka Raja menitahkan I Jayaprana bersama rombongan pergi ke Celuk Terima, untuk menyelidiki perahu yang hancur dan orang-orang Bajo menembak binatang yang ada di kawasan pengulan. Demikian isi pertimbangan salah seorang perbekel yang bernama I Saunggaling, yang telah disepakati oleh Sang Raja. Sekarang tersebutlah I Jayaprana yang sangat brebahagia hidupnya bersama istrinya. Tetapi baru tujuh hari lamanya mereka berbulan madu, datanglah seorang utusan raja ke rumahnya, yang maksudnya memanggil I Jayaprana supaya menghadap ke paseban. I Jayaprana segera pergi ke paseban menghadap Sri P aduka Raja bersama perbekel sekalian. Di paseban mereka dititahkan supaya besok pagi-pagi ke Celuk Terima untuk menyelidiki adanya perahu kandas dan kekacauan-kekacauan lainnya. Setelah senja, sidang pun bubar. I Jayaprana pulang kembali ia disambut oleh istrinya yang sangat dicintainya itu. I Jayaprana menerangkan hasil-hasil rapat di paseban kepada istrinya.
Hari sudah malam Ni Layonsari bermimpi, rumahnya dihanyutkan banjir besar, ia pun bangkit dari tempat tidurnya seraya menerangkan isi impiannya yang sangat mengerikan itu kepada I Jayaprana. Ia meminta agar keberangkatannya besok dibatalkan berdasarkan alamat-alamat impiannya. Tetapi I Jayaprana tidak berani menolak perintah raja. Dikatakan bahwa kematian itu terletak di tangan Tuhan Yang Maha Esa. Pagi-pagi I Jayaprana bersama rombongan berangkat ke Celuk Terima, meninggalkan Ni Layonsari di rumahnya dalam kesedihan. Dalam perjalanan rombongan itu, I Jayaprana sering kali mendapat alamat yang buruk-buruk. Akhirnya mereka tiba di hutan Celuk Terima. I Jayaprana sudah meras dirinya akan dibinasakan kemudian I Saunggaling berkata kepada I Jayaprana sambil menyerahkan sepucuk surat. I Jayaprana menerima surat itu terus langsung dibaca dalam hati isinya:
“ Hai engkau Jayaprana
Manusia tiada berguna
Berjalan berjalanlah engkau
Akulah menyuruh membunuh kau

Dosamu sangat besar
Kau melampaui tingkah raja
Istrimu sungguh milik orang besar
Kuambil kujadikan istri raja

Serahkanlah jiwamu sekarang
Jangan engkau melawan
Layonsari jangan kau kenang
Kuperistri hingga akhir jaman.”

Demikianlah isi surat Sri Baginda Raja kepada I Jayaprana. Setelah I Jayaprana membaca surat itu lalu ia pun menangis tersedu-sedu sambil meratap. “Yah, oleh karena sudah dari titah baginda, hamba tiada menolak. Sungguh semula baginda menanam dan memelihara hambat tetapi kini baginda ingin mencabutnya, yah silakan. Hamba rela dibunuh demi kepentingan baginda, meski pun hamba tiada berdosa. Demikian ratapnya I Jayaprana seraya mencucurkan air mata. Selanjutnya I Jayaprana meminta kepada I Saunggaling supaya segera bersiap-siap menikamnya. Setelah I Saunggaling mempermaklumkan kepada I Jayaprana bahwa ia menuruti apa yang dititahkan oleh raja dengan hati yang berat dan sedih ia menancapkan kerisnya pada lambung kirinya I Jayaprana. Darah menyembur harum semerbak baunya bersamaan dengan alamat yang aneh-aneh di angkasa dan di bumi seperti: gempa bumi, angin topan, hujan bunga, teja membangun dan sebagainya.
Setelah mayat I Jayaprana itu dikubur, maka seluruh perbekel kembali pulang dengan perasaan sangat sedih. Di tengah jalan mereka sering mendapat bahaya maut. Diantara perbekel itu banyak yang mati. Ada yang mati karena diterkam harimau, ada juga dipagut ular. Berita tentang terbunuhnya I Jayaprana itu telah didengar oleh istrinya yaitu Ni Layonsari. Dari itu ia segera menghunus keris dan menikan dirinya. Demikianlah isi singkat cerita dua orang muda mudi itu yang baru saja berbulan madu atas cinta murninya akan tetapi mendapat halangan dari seorang raja dan akhirnya bersama-sama meninggal dunia.

Bali MANIK ANGKERAN ASAL MULA SELAT BALI

Pada jaman dulu di kerajaan Daha hiduplah seorang Brahmana yang benama Sidi Mantra yang sangat terkenal kesaktiannya. Sanghyang Widya atau Batara Guru menghadiahinya harta benda dan seorang istri yang cantik. Sesudah bertahun-tahun kawin, mereka mendapat seorang anak yang mereka namai Manik Angkeran.

Meskipun Manik Angkeran seorang pemuda yang gagah dan pandai namun dia mempunyai sifat yang kurang baik, yaitu suka berjudi. Dia sering kalah sehingga dia terpaksa mempertaruhkan harta kekayaan orang tuanya, malahan berhutang pada orang lain. Karena tidak dapat membayar hutang, Manik Angkeran meminta bantuan ayahnya untuk berbuat sesuatu. Sidi Mantra berpuasa dan berdoa untuk memohon pertolongan dewa-dewa. Tiba-tiba dia mendengar suara, "Hai, Sidi Mantra, di kawah Gunung Agung ada harta karun yang dijaga seekor naga yang bernarna Naga Besukih. Pergilah ke sana dan mintalah supaya dia mau mernberi sedikit hartanya."

Sidi Mantra pergi ke Gunung Agung dengan mengatasi segala rintangan. Sesampainya di tepi kawah Gunung Agung, dia duduk bersila. Sambil membunyikan genta dia membaca mantra dan memanggil nama Naga Besukih. Tidak lama kernudian sang Naga keluar. Setelah mendengar maksud kedatangan Sidi Mantra, Naga Besukih menggeliat dan dari sisiknya keluar emas dan intan. Setelah mengucapkan terima kasih, Sidi Mantra mohon diri. Semua harta benda yang didapatnya diberikan kepada Manik Angkeran dengan harapan dia tidak akan berjudi lagi. Tentu saja tidak lama kemudian, harta itu habis untuk taruhan. Manik Angkeran sekali lagi minta bantuan ayahnya. Tentu saja Sidi Mantra menolak untuk membantu anakya.

Manik Angkeran mendengar dari temannya bahwa harta itu didapat dari Gunung Agung. Manik Angkeran tahu untuk sampai ke sana dia harus membaca mantra tetapi dia tidak pernah belajar mengenai doa dan mantra. Jadi, dia hanya membawa genta yang dicuri dari ayahnya waktu ayahnya tidur.

Setelah sampai di kawah Gunung Agung, Manik Angkeran membunyikan gentanya. Bukan main takutnya ia waktu ia melihat Naga Besukih. Setelah Naga mendengar maksud kedatangan Manik Angkeran, dia berkata, "Akan kuberikan harta yang kau minta, tetapi kamu harus berjanji untuk mengubah kelakuanmu. Jangan berjudi lagi. Ingatlah akan hukum karma."

Manik Angkeran terpesona melihat emas, intan, dan permata di hadapannya. Tiba-tiba ada niat jahat yang timbul dalam hatinya. Karena ingin mendapat harta lebih banyak, dengan secepat kilat dipotongnya ekor Naga Besukih ketika Naga beputar kembali ke sarangnya. Manik Angkeran segera melarikan diri dan tidak terkejar oleh Naga. Tetapi karena kesaktian Naga itu, Manik Angkeran terbakar menjadi abu sewaktu jejaknya dijilat sang Naga.

Mendengar kernatian anaknya, kesedihan hati Sidi Mantra tidak terkatakan. Segera dia mengunjungi Naga Besukih dan memohon supaya anaknya dihidupkan kembali. Naga menyanggupinya asal ekornya dapat kembali seperti sediakala. Dengan kesaktiannya, Sidi Mantra dapat memulihkan ekor Naga. Setelah Manik Angkeran dihidupkan, dia minta maaf dan berjanji akan menjadi orang baik. Sidi Mantra tahu bahwa anaknya sudah bertobat tetapi dia juga mengerti bahwa mereka tidak lagi dapat hidup bersama.

"Kamu harus mulai hidup baru tetapi tidak di sini," katanya. Dalam sekejap mata dia lenyap. Di tempat dia berdiri timbul sebuah sumber air yang makin lama makin besar sehingga menjadi laut. Dengan tongkatnya, Sidi Mantra membuat garis yang mernisahkan dia dengan anaknya. Sekarang tempat itu menjadi selat Bali yang memisahkan pulau Jawa dengan pulau Bali.

Rabu, 18 November 2009

Sejarah Desa Subaya

Menurut prasasti Subaya yang kini tersimpan lembar ke 9 di Pura Puseh Desa Pekraman Subaya, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Dan lembar 1-8 di Pura Ratu Pingit Desa Tejakula, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng. Diceritakan bahwa pada tahun caka 1077 bulan caitra tanggal satu sedang bulan gelap, hari hariyang umanis wuku tolu (tanggal 8 April 1155 TM) Sri Paduka Raga Jaya bermusyawarah bersama pemuka agama dan para senopati kerajaan. Adapun maksud pertemuan tersebut untuk mengingat-ingat desa manakah yang layak ditempatkan di wilayah Taman Suci (Laba Pura) milik Ida Batara di Kunjara Asana (sekarang Pura Agung Desa Pekraman Tejakula).
Dijelaskan bahwa pada tahun tersebut penduduk Desa Sabaya (sekarang Subaya) di panggil agar menghadap Sir Maharaja Raga Jaya. Kemudian dalam pertemuan tersebut, dengan disaksikan para pemuka agama dan senopati kerajaan, baginda menanyakan dan memerintahkan mereka untuk ditempatkan di wilayah tanah laba pura milik Ida Betara di Kunjara Asana. Selanjutnya dengan senang hati menerima perintah dari Sri Paduka Maharaja.
Karena penduduk Desa Sabaya berkenan bertempat tinggal di tanah Palaba Pura milik Betara Kunjara Asana sesuai dengan peraturan-peraturan Labapura tentang pemeliharaan dan pekerjaan tanah maka dari itu Sri Maharaja Raga Jaya memberikan Piagam Prasasti kepada Desa Sabaya.
Desa Sabaya waktu dulu di sekitar Pura Agung Desa Pekraman Tejakula sekarang. Yang patut selalu dijaga sebagai pancaran sinar untuk memperkuat kehidupan desanya. Dengan status Desa Swatantra (otonom) karena mengerjakan tanah labapura untuk rakyat yang menjunjung periuk abu bunga raja yang diwujudkan Batara Kunjara Asana.
Berdasarkan cerita/mitos orang tua (para penglingsir) secara turun temurun di Desa Subaya letak wilayah Desa Pekraman Subaya sekarang, dulunya bernama Gunung Sengka (daerah perbukitan yang sulit dijangkau) hal ini kalau dikaitkan dengan kondisi geografis desa sekarang sangat cocok, karena posisi Desa Subaya sekarang berada di areal tanah perbukitan yang sulit dicari karena terjepit oleh pangkung/tukad dan bukit-bukit.
Pada waktu dulu, Desa Sabaya (yang letaknya dulu di sekitar areal Pura Agung/Puseh Desa Pekraman Tejakula sekarang) mengalami kehancuran.
Karena berbagai faktor, informasinya pun kurang jelas, tetua desa mengatakan pernah terjadi perang antar desa, adapula yang mengatakan karena kebajakan/di bajak oleh saudagar atau wong prahu (Bajak Laut) yang merampas hasil bumi di Desa Sabaya.
Barangkali karena faktor tersebut, akhirnya penduduk Desa Sabaya lari/mengungsi meninggalkan desanya, mencari atau naik ke areal perbukitan (Gunung Sengka) yang lebih aman dengan membawa Arta Pusaka Desa berupa Prasasti Pratima atau Arca sebagai perwujudan Ida Batara.
Kemudian penduduk Desa Sabaya yang melarikan diri ke wilayah perbukitan ini berkumpul/rapat. Dalam paruman tersebut, ada sebagian warga Sabaya menghendaki untuk melanjutkan perjalanan menuju Desa Sukawana, Kutuh, Batih, bahkan ada yang sampai Desa Tiingan, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung.
Sebagian warga Sabaya menghendaki tinggal ditempat karena merasa tidak kuat melakukan perjalanan/pelarian dengan membawa (mundut) arta pusaka desa seperti tersebut diatas. Oleh sebab itu, dalam rapat penduduk Desa Sabaya, diputuskan untuk bebas menentukan pilihan tempat tinggal.
Dengan adanya ikatan kekeluargaan yang mengikat di kedua belah pihak yakni, apabila suatu saat ada penduduk yang tinggal di area perbukitan melakukan upacara odalan atau pujawali dalam melestarikan kepercayaannya, dresta desa dan sima desa di wilayah perbukitan Gunung Sengka, maka warga Sabaya yang tadinya melanjutkan perjalanan ke desa lain agar datang kembali untuk melakukan persembayangan kembali/memuja arta pusaka desa yang dibawa (dipundut) dari desa sabaya, yang waktu dulu diusung berupa prasasti, yang merupakan Piagam pemberian Baginda Raja Sri Maharaja Raga Jaya.
Dengan adanya pasubayan atau perjanjian lisan antar warga sabaya tersebut, diareal perbukitan Gunung Sengka, lama kelamaan areal tersebut disebut Desa Subaya. Hal ini sampai sekarang masih dipatuhi oleh penduduk sabaya keturunan, baik berada di Desa Subaya maupun di desa-desa lainnya.
Hal ini dapat dilihat pada waktu pelaksanaan pujawali/odalan Ngusaba Sembah (ayunan) dan Ngusaba di Desa Pekraman Subaya yang dipenuhi pemedek dari desa-desa lain.
Geografis dan Pekraman
Desa Subaya terletak di areal/wilayah perbukitan dan merupakan salah satu desa dari 48 desa yang berada di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Desa Subaya terdiri dari satu banjar dinas dan satu desa pekraman yaitu, Banjar Dinas Subaya dan Desa Pekraman Subaya. Dengan batas-batas wilayah antara lain :
Sebelah utara adalah Desa Pekraman Tejakula dan Desa Pekraman Les, sebelah timur adalah Desa Pekraman Batih, sebelah barat adalah Desa Pekraman Kutuh, dan disebelah selatan adalah Desa Pekraman Sekawana.
Jumlah krama di Desa Pekraman Subaya sampai tahun 2005 yaitu 226 kraman, yang digolongkan menjadi 3 tingkatan dengan sistem Ulupad yaitu : 1. Kraman Pideran (krama yang baru menikah masuk mekrama adat) yang terdiri dari 2 krama sesuai dengan posisi (linggih krama kiwa tengen) atau kiri-kanan dalam memasuki tahapan ulupad krama. 2. Krama Desa (Krama Pecerikan) yaitu posisinya diatas krama pideran dan dibawah peduluan desa yang didalamnya ada Bendesa Adat, Kelihan Desa ulupad, sekretaris adat, bendahara adat dan sayan desa (sinoman). Peduluan Desa (Gurun-gurun desa) yang posisinya di desa pekraman diatas krama desa yang terdiri dari 16 orang, dengan posisi kiri-kanan (kiwa-tengen) dengan sebutan berbeda-beda yaitu: Jro Bayan, anggotanya 2 orang, Jro Bau, keanggotaannya 6 orang, Jro Singgukan, keanggotaanya 2 orang dan Jro Pengenem, keanggotaannya 6 orang.
Desa Pekraman Subaya mempunyai pura kahyangan desa, selain itu juga memiliki Pura Dengkahyangan Desa (Pura Dangka). Pura-pura tersebut adalah Pura Puseh, Pura Bale Agung, Pura Dalem, Pura Pengubengan, Pura Pemujaan, Pura Pengalapan, Pura Batukepeh, Pura Dalem Kauh (Pura Ratu Pingit), Dalem Mrajapahit, Pura Bangsing dan Pura Mendaha, yang semuanya berjumlah 11. Tiga pura berstatus Kahyangan Desa (Kahyangan Desa) 8 Pura berstatus Dangkahyangan Desa (Pura Dangka)

Melacak Ihwal Pura Dalem Balingkang

REDITE Umanis Warigadian atau Minggu (2007/5/11) hari ini upacara piodalan di Pura Dalem Balingkang, Desa Pinggan, Kintamani, Bangli. Lokasinya, dari Denpasar mengikuti jalur Denpasar-Singaraja lewat Kintamani, dan di Pura Pucak Panulisan menuju arah timur laut kira-kira 15-20 km. Tempatnya sangat unik dikelilingi Sungai Melilit, yang dianggap sebagai benteng utama menuju ke Kerajaan Balingkang. Bagaimana sesungguhnya ihwal Pura Dalem Balingkang ini?

Dalam Prasasti Sukawana (Goris, 1954) disebut, Desa Sukawana diserang hujan badai dan Keraton Jaya Pangus hancur, sehingga jong les pindah ke Balingkang. Keberadaan Pura Dalem Balingkang (PDB) sebagai pura maupun sebagai Keraton Raja Bali Kuna tercatat pula dalam "Pengeling-eling Desa Les-Penuktukan, Tejakula, Buleleng" yang dikeluarkan oleh Raja Jaya Kasunu sekitar abad ke-11. Ia tercatat sebagai leluhur Raja Jaya Pangus Harkajalancana.
Masyarakat Bali dewasa ini terbagi menjadi dua kelompok utama -- Bali Mula (Aga) dan Bali Majapahit. Prof. Dr. I Gusti Bagus (alm.) dalam tulisannya "Kebudayaan Bali" (1979) menyebut, masyarakat Bali Mula mendiami daerah pegunungan di Bali, sedangkan Bali Majapahit mendiami daerah dataran. Bahasanya pun berbeda, disebut "omong negari" dan "omong pojol" oleh masyarakat Bali Mula.
Dua Permaisuri
Dalam konteks PDB, nama balingkang berasal dari kata "bali + ing kang". Secara tuturan dan bukti tertulis, ini dikaitkan dengan pernikahan Raja Jaya Pangus Harkajalancana yang memerintah pada tahun saka 1103-1191 atau 1181-1269 Masehi. Raja Jaya Pangus punya dua permaisuri, Paduka Bhatari Sri Parameswari Indujaketana dan Paduka Sri Mahadewi Cacangkaja Cihna -- (Cihna-Cina). Dalam cerita rakyat yang berkembang disebut, istri Cinanya bernama Kang Ci Wi, putri Tuan Subandar pedagang dari Cina. Maka digabunglah Bali-Ing-Kang jadi Balingkang.
Masyarakat Bali Kuna di sekitar Danau dan Gunung Batur tercatat amat sulit ditundukkan oleh Raja Sri Kresna Kepakisan yang ditempatkan oleh Maha Patih Gajah Mada. Sampai dewasa ini, mereka amat sulit terpengaruh oleh budaya Hindu Majapahit. Sampai tahun 2006 ini, Pura Pucak Panarajon belum mau menggunakan Ida Pedanda sebagai Sang Trini-nya, tetap menggunakan Jro Mangku dan Jro Kebayan dengan upacara podgala atau mewinten pang solas.
Masyarakat Bali Mula di sekitar Danau Batur menyebut dirinya dengan Gebog Domas (Kelompok Delapan Ratus). Kelompok ini dibagi jadi empat bagian Gebog Satak (Dua Ratus) Sukawana, Kintamani, Selulung dan Bantang. Kelompok ini memiliki Tri Kahyangan yakni
(1) Pura Pucak Panarajon sebagai pusatnya terletak di Sukawana, Kintamani, dengan tiga tingkatan pura yang disebut Gunung Kahuripan. Tingkatannya, Pura Panarajon (Ida Bhatara Siwa Sakti), Pucak Panulisan (sejajar dengan pusat pemerintahan -- dulu sebagai keraton Raja Jaya Pangus), dan Pucak Wangun Hurip (simbol membangun kehidupan).
(2) Pura Bale Agung di Sukawana dengan Ida Bhatara Ratu Sakti Kentel Gumi, setara dengan Bhatara Brahma,
(3) Pura Pusering Jagat -- Pura Puseh Panjingan di Desa Les-Penuktukan, Tejakula, Buleleng, berstana Ida Ratu Sakti Pusering Jagat setara dengan Bhatara Wisnu, dan
(4) Pura Dalem Balingkang berstana Ida Dalem Kepogan (Dalem Balingkang) setara dengan Dewa Siwa.
Kelompok Satak Sukawana terdiri atas beberapa desa di Kecamatan Kintamani dan Tejakula, Buleleng. Sebagai ikatan yang padu, Desa Pinggan ditugaskan oleh Sukawana sebagai kesinoman membawa surat ke kelompok Tejakula. Di Sukawana banyak ada peninggalan tanah pelaba pura, serta di Balingkang ada 175 ha. Rupanya secara diam-diam keduanya saling menguasai tanah itu.
Pada 1960, Sukawana menugaskan Pinggan mengirim surat ke kelompok Buleleng Timur. Surat itu "disembunyikan" sehingga semua warga Buleleng tak tahu ada upacara di Panarajon. Ini berlangsung sampai 1963, sehingga pada 1964 Sukawana malu menugaskan Pinggan. Akhirnya, kelompok pemuja PDB pada 1964 yakni Pinggan, Siakin, Tembok, Gretek Sambirenteng, Les-Penuktukan menyatakan keluar dari kelompok Sukawana dan membuat kelompok baru bernama Gebog Satak Balingkang.
Lalu, sejak 1964 kelompok pemuja Pura Pucak Bukit Indra Kila, Desa Dausa, Kintamani juga melepaskan diri dari Pura Panarajon.
PDB yang dipuja kelompok Gebog Satak Balingkang, juga dipuja oleh warga masyarakat di sekitar Desa Petak, Gianyar. Ini terjadi karena ada hubungan historis dengan keluarga Puri Petak Gianyar. Secara faktual, di utama mandala bagian sisi selatan ada kompleks bangunan pura lengkap dengan sanggar agung, meru 11 (tingkat 11), sebagai pemujaan Ida Dalem Klungkung (Raja Klungkung) dan meru 9 (tingkat 9) sebagai pemujaan pada Ida Dalem Bangli (Raja Bangli).
Menurut Ida Cokorda Dalem Balingkang dalam disertasinya di Surabaya pada 1989, menyebut tentang keberadaan leluhurnya di PDB serta fungsi meru 11 dan meru 9 di utama mandala. Dituturkan, semua itu ada kaitan dengan saat sesudah penyerbuan Panji Sakti ke Bintang Danu pada 1772. Waktu itu, Dewa Agung Mayun Sudha adalah Raja Pejeng, Gianyar. Ia diserang oleh penguasa dari Puri Blahbatuh, Puri Peliatan, Puri Gianyar, dan Puri Ubud.
Karena lawannya banyak, pasukan Puri Pejeng terdesak. Dewa Agung Mayun Sudha yang merasa terdesak, bersama piluhan anak buahnya lari menyelamatkan diri ke arah pegunungan. Rombongan ini bersembunyi di sekitar PDB yang saat itu bangunannya telah terbakar, tinggal dasarnya saja. Bersama rombongannya, Dewa Agung Mayun Sudha memimpin merabas hutan seluas 175 ha. Ia mengajak warga membangun kembali PDB sehingga pelan-pelan menjadi lengkap.
Setelah puranya dibangun, diadakanlah upacara dengan dukungan Raja Bangli serta Raja Klungkung. Akhirnya, hubungan Dewa Agung Mayun Sudha dengan Raja Bangli dan Raja Klungkung makin baik. Suatu hari, Dewa Agung Mayun Sudha memohon bantuan pada Raja Bangli dan Klungkung akan merebut kembali kerajaannya. Disarankan, agar diserang Desa Petak dulu, sebagai tempat berpijak. Dengan bantuan pasukan Raja Klungkung dan Bangli, Desa Petak yang terdiri atas sepuluh dusun dapat dikuasai, sehingga Dewa Agung Mayun Sudha berkuasa di sana.
Untuk mengenang dan memuliakan Ida Bathara Dalem Balingkang, maka Dewa Agung Mayun Sudha bergelar Ida Cokorda Putra Dalem Balingkang. Sampai saat ini, keluarga Puri Petak menjadi pemuja utama di PDB, selain Gebok Satak Balingkang.
Struktur Pura
Struktur PDB termasuk unik, karena dulu konon dijadikan istana raja yang menghindari serangan raja lainnya. Dalam beberapa pustaka ada disebut, PDB sebagai istana Raja Maya Danawa. Raja ini dikalahkan oleh Bathara Indra dari Tampaksiring. Namun dalam naskah lontar "Linaning Maya Danawa" dikisahkan Maya Danawa mati terbunuh oleh Ki Kebo Parud -- utusan Raja Kerta Negara yang menyerang dari utara.
Dalam struktur PDB, di awal adalah kompleks Pura Tanggun Titi -- ujung jembatan dan ada sumber air. Di sumber air ini kerbau disucikan sebelum mepepada. Di kompleks Pura Tangun Titi ada pemujaan Ratu Ngurah Sakti Tanggun Titi, Ratu Mas Melanting, Ratu Sakti Gede Penyarikan, dan Sang Hyang Haji Saraswati. Kompleks kedua setelah melewati tanah lapang yang dulu difungsikan membangun tempat penginapan, ada bangunan cangapit, yakni pintu masuk yang dilengkapi tempat duduk raja saat menyaksikan jro gede mepada mengelilingi pura.
Di jaba tengah, tak banyak bangunan, hanya ada paruman agung, stana Ida Bhatara Sami, serta palinggih Ratu Ayu Subandar. Palinggih ini sebagai pemujaan pada Kang Ci Wi dan ini amat diyakini oleh masyarakat Cina membawa berkah. Di kompleks utama atau jeroan, dibangun pemujaan Puri Agung Petak dengan meru 11 dan meru 9. Juga dibangun pemujaan Dalem Balingkang dengan gedong bata dan meru 7 -- ini mengingatkan pada Sapta Dewata. Ada pula bangunan balai panjang bertiang 24, bertiang 20, dan balai mundar-mundar bertiang 16 (dibagi empat sisi, masing-masing bertiang 4).

PURA PONJOK BATU

Dalam perjalanan Dang Hyang Nirartha di Bali Utara, beliau berhenti/bemeditasi di sebuah tanjung batu.
Ditempat ini beliau menolong sebuah kapal dari lombok yg "kampih" dan dg kesaktiannya,beliau menyelamatkan nyawa awak kapal itu. Beliau lalu meninggalkan tanjung batu dan turut serta ke Lombok bersama para awak kapal.

Sepeninggal beliau,secara ajaib, batu2 disana mengeluarkan sinar.
Bayak orang yg datang ke lokasi batu2 ini karena penasaran.Tempat ini menjadi ramai dikunjungi, tidak hanya sekedar ingin memuaskan rasa penasaran mereka thd keajaiban batu2 yg bersinar, tapi mereka juga berdoa dan melakukan persembahyangan memohon keselamatan. Akhirnya di sana dibangun sebuah Pura atau kahyangan dengan bangunan sucinya berbentuk sebuah "Sanggar Agung" dan Pura atau Kahyangan itu diberi nama "Pura Ponjok Batu" sesuai dengan tempat itu yang merupakan tanjung batu. Kata "tanjung" sama dengan "ponjol" dalam bahasa Bali, sehingga kata "ponjok batu" berati "tanjung batu", dan sekarang pura atau Kahyangan itu menjadi tempat persembahyangan umum, untuk memohon keselamatan.

Sabtu, 14 November 2009

OM AWIGHNAM ASTU NAMA SIDHAM

Desa Pakraman Tejakula sebagai salah satu desa pakraman di Bali memiliki perjalanan yang panjang dan unik, baik dilihat dari segi historis maupun geografisnya. Perjalanan panjang dimaksud yaitu Desa Pakraman Tejakula sebelum bernama Desa Tejakula, diberi nama Hiliran, kemudian disebut dengan Paminggir. Hal ini disebutkan dalam Prasasti Raja Janasadu Warmadewa Icaka Warsa 897 dan juga disebutkan dalam Prasasti Jayapangus tahun Caka 1103 begitu pula dalam Prasasti Raja Ekajaya Lancana tahun Caka 1122 kemudian barulah bernama Desa Tejakula.Sedangkan keunikannya adalah Desa Pakraman Tejakula yang ada sekarang secara geografis berada di wilayah Kabupaten Buleleng bagian timur namun memiliki hubungan historis secara ritual yang sangat erat dengan Desa Sukawana dan Batur yang sama-sama berada di wilayah Kabupaten Bangli, hal ini terpelihara dari sejak jaman dahulu sampai saat ini.

Hubungan secara ritual antara Desa Pakraman Tejakula dengan Desa Pakraman Batur dan Desa Pakraman Sukawana diterima dari cerita secara turun temurun para leluhur dan dipertegas kembali dalam Purana-purana yang ada di Batur maupun Sukawana khususnya dalam hubungan pelestarian sumber air, sebagai sumber hidup Krama Desa Tejakula utamanya dalam pemanfaatan untuk iragasi maupun kebutuhan hidup sehari-hari.
Berdasarkan isi Pangeling-eling Pepasehan Ida Bhatara Sakti ring Pura Ulun Danu Batur disebutkan bahwa Ida Bhatara ring Pura Ulun Danu berkehendak untuk melimpahkan Anugrah atau Paica kepada panjak – panjak Beliau yang berada di bagian timur Kabupaten Buleleng dalam bentuk Tirta atau Air Suci sebagai sumber kesuburan dan kehidupan dari para Krama desa. Namun sebelum melimpahkan anugrahnya terlebih dahulu Beliau ingin melihat ketulusan rasa bakti dari para krama desa (panjak-panjak Beliau). Atas dasar itu maka Ida Bhatara ring Pura Ulun Danu menjelma menjadi manusia tua renta dengan kondisi fisik yang sangat menjijikkan, menjajakan (menjual) air dengan menjunjung sebuah kendi. Adapun kisah perjalanan beliau adalah sebagai berikut : diawali dari wilayah kanca Satak (wilayah ujung timur kecamatan Tejakula), disekitar Pura Pegonjongan si penjaja air terpeleset sehingga air yang dijunjungnya sedikit tertumpah. Kemudian melanjutkan perjalanan ke arah barat sampai di Desa Les. Masyarakat Desa Les membeli air seharga 2 keteng, dan dilanjutkan ke barat menuju Hiliran (Desa Tejakula sekarang). Masyarakat Hiliran membeli air seharga 3 keteng. Sang penjaja air melanjutkan kembali perjalanannya menuju ke arah barat dan terakhir air tersebut dituangkan di wilayah air sanih.

Dari kisah ini tampak jelas adanya hubungan secara ritual dengan Desa Batur dan Sukawana (Bangli) terhadap kelangsungan pelestarian air di Desa Pakraman Tejakula, sebagai anugrah yang dilimpahkan oleh Ida Bhatara di Ulun Danu Batur dan Ida Bhatara Sukawana dalam wujud Tirta atau Air Suci menjadi kewajiban krama desa Tejakula untuk membayar upeti dalam bentuk aci atau upacara. Kewajiban itu telah dilaksanakan secara terus menerus baik yang pelaksanaannya setiap tahun maupun sepuluh tahun sekali.

Bukti lain keterkaitan secara ritual antara Desa Tejakula, Batur dan Sukawana juga dapat dilihat dari peninggalan-peninggalan sejarah seperti adanya bangunan suci berupa Pelinggih Meru Tumpang Tiga di Pura Ulun Danu Batur, begitu juga bangunan suci yang berupa bangunan Cang Apit di Pura Desa Sukawana yang mana bangunan ini merupakan salah satu bangunan inti yang berfungsi sebagai tempat medal dan ngeranjing Ida Bhatara pada waktu pelaksanaan upacara di Pura Desa Sukawana. Dibelakang bangunan Cang Apit tersebut tertulis “Pangeling-eling kerama ngewangun palinggih Cang Apit. Indik prabea ngarya kesanggra olih Desa Tejakula, indik lakar wewangunan kesanggra olih Desa Sukawana”.

Kemudian bukti lain keterkaitan Desa Tejakula, Sukawana dan Batur yaitu berdirinya sebuah bangunan suci yang bernama Pura Utus sebagai tempat bersejarah mengingat di lokasi tersebut dipakai sebagai tempat para prajuru desa setiman (45) Desa Sukawana mengadakan Paruman dengan maksud untuk membahas keadaan wilayah bagian utara Desa Sukawana yaitu wilayah Paminggir atau Hiliran (Desa Tejakula sekarang). Dimana daerah tersebut keadaan tanahnya sangat subur oleh karenanya daerah ini sering menjadi rebutan dari orang-orang atau kelompok lain sehingga keamanan daerah paminggir atau Hilirian sangat terganggu. Melihat situasi seperti itu maka demi untuk menjaga keutuhan dan segala keberadaannya, prajuru Desa Sukawana yang berjumlah 45 orang mengambil keputusan antara lain :
1. Prajuru Desa Sukawana membagi diri dalam menata wilayahnya yaitu 23 orang menata wilayah daerah Sukawana bagian selatan dan 22 orang lainnya menata wilayah bagian utara (Paminggir/Hiliran/Tejakul
a)
2. Prajuru yang berangkat ke daerah Paminggir berjumlah 22 orang didampingi oleh para Pengabih / prajurit / cendek.
3. Segala biaya dalam rangkaian pembangunan, aci atau upacara dan kelangsungannya menjadi tanggungan bersama.
4. Di tempat itu dibangun dua buah bale panjang yang berfungsi untuk kegiatan sangkepan prajuru Desa Sukawana dan prajuru Desa Tejakula.
5. Dalam perbaikan alat-alat seperti tombak, pengawin dan segala sarana yang terbuat dari logam apabila mengalami kerusakan dikerjakan oleh Desa Tejakula.
6. Untuk mengenang peristiwa yang bersejarah itu dibangunlah sebuah bangunan suci sebagai ungkapan rasa puji dan syukur kehadapan Ida Bhatara atas keputusan yang telah diambil. Bangunan suci tersebut kemudian diberi nama Pura Utus.

Krama Desa Tejakula dalam menghaturkan aci dan melaksanakan kewajiban lainnnya merupakan suatu bentuk kewajiban sebagai rasa bhakti kehadapan Ida Bhatara Bhatari dalam upaya memohon selain keselamatan juga untuk memelihara kelangsungan keberadaan serta tetap berfungsinya sumber air yang mengalir ke Desa Tejakula sebagai sumber kehidupan.
(Sumber : Desa Pakraman Tejakula)
maaf blog ini masih dalam tahap pengumpulan data-data dengan anggota spint tejakula.